Saturday, October 26, 2019

Aku Ingin Mati, Katanya Jangan

Hasil gambar untuk siluet mendung
pxhere.com


Yang aku ingat, dari pertemuan pertama dan terakhir kita kala itu, senyumnya sangat menenangkan. Hanya dari senyumnya aku bisa yakin semua akan baik-baik saja, walau setelah itu kami tidak pernah bertemu lagi.

###

Aku tidak pernah mengerti mengapa orang di luar sana memilih untuk bunuh diri. Sejauh yang ada dipikiranku, belum ada alasan yang tepat memgapa kita harus memilih menyiksa diri dengan mati kesakitan atau karena gantung diri atau meminum racun atau menyayat pergelangan tangan sendiri.

Infografis yang kubaca dari salah satu media malah mengatakan bahwa bunuh diri bisa membuat orang-orang disekitarnya merasa bersalah. Hey, siapa yang melakukan, siapa yang merasa bersalah?. Logikaku sungguh belum sampai sana, dulu.

Aku pandang lagi gedung-gedung tinggi di depanku, jalanan masih lengang, masih jam sekolah. Angin sangat terasa dari tempatku duduk sekarang, rooftop lantai tiga gedung setengah jadi yang ditunda pembangunanya karena permasalahan perijinan. Kini aku mengerti mengapa orang memilih bunuh diri. Jelas, mereka ingin membuat orang-orang yang berada disekitarnya merasa bersalah atas kematian orang lain. Setidaknya itu alasanku berada disini.
  

Aku sepakat jika bunuh diri adalah pembalasan terbaik atas apa yang telah mereka lakukan kepadaku. Aku bukan orang jahat, pun aku bukan orang menyebalkan. Walaupun tidak semua orang bisa menyukai kita tapi aku tidak pernah percaya mengapa sampai ada orang yang menyakiti dengan sangat. Ah, sudahlah, terlalu sesak dadaku mengingat semuanya.

Pikiranku sudah melayang, aku tinggal menunggu dorongan badanku untuk terjun ke bawah, hanya tinggal menunggu waktu datang.

“Hey, apa yang kamu lakukan diatas sana? Turunlah” Suara seseorang membuyarkan lamunanku. Menyebalkan. Mengapa ada orang yang berusaha merusak rencanaku. Aku mengabaikannya.

“Bahaya disitu, cepatlah turun” Bodo amat, orang waras juga tau duduk di rooftop adalah hal yang membahayakan. Aku masih mengabaikannya.

“Hoy, Tetaplah disitu! Jangan lakukan hal yang aneh-aneh” Langkah kakinya terdengar semakin kencang berlari menyusulku ke lantai tiga. Aku mulai membencinya.

“Stop, jangan dekati aku!” Aku benci semua orang yang ingin merusak rencanaku. Bisa kurasakan dia mulai mendekatiku.

“Hey, apa masalahmu?” masalahku? Seseorang merusak rencanaku.

“Aku bilang stop. Kamu tahu apa artinnya! Sekali lagi kamu melompat aku akan lompat!” Aku membuka mulut dengan malas. Kenapa orang-orang semakin menyebalkan saja.

“Oke baiklah. Aku tidak akan mendekat. Tapi apa masalahmu?” Aaaa, sungguh, aku benci dia. Mengapa dia ingin sekali mengetahui kehidupan orang lain. Aku sudah malas menceritakan masalahku, paling juga dia hanya mendengar kemudian pergi, tidak peduli. DIa terus merayuku untuk turun, untuk mundur dari tepian gedung. Sungguh sangat sok super hero. Sebenarny bisa saja aku langsung terjun meninggalkan dia, karna rasanya malas sekali berurusan dengan orang yang penuh dengan basa-basi, tapi aku malas dilihat orang. Aku mulai terdiam tidak menggubris pertanyaannya lagi. Hingga tanpa sadar dia sudah disampingku, aku tersentak melihat telapak tangannya berada disamping pundakku, menjulur, meminta tanganku menyambutnya. Ah, sial, aku telat terjun. Baiklah aku akan terjun setelah ini.

Sebenarnya aku tidak terlalu peduli dengan siapa dia, dari suaranyapun aku tidak mengenalnya, mungkin kita seumuran. Setelah sekian perbincangan lama yang tidak berarti ini akhirnya aku mengalah untuk menoleh melihat wajahnya.

Aku tidak salah memutuskan untuk bunuh diri, Aku telah mati. Aku merasakan jantungku antara berdegup sangat cepat atau sudah berhenti. Aku merasa neuron-neuron diotakku sudah putus semua, aku merasa tubuhku pucat, darahku sudah membeku. Aku merasa mati.

###

“Jadi siapa yang bisa membuat bu dokter melamun di depan klien hari ini?” Tanya Lila, asistenku, dengan nada menggodanya.

“Coco”

“Coco? Nama yang lucu”

“Aku juga tidak tau Lil, saat itu, yang aku lihat hanya senyumnya, senyumnya mengingatkanku pada diriku sendiri. Pada aku yang baik-baik saja. Aku tidak tau juga mengapa bisa demikian. Karna itulah aku tidak jadi bunuh diri. Ternyata aku hanya lupa pada diriku sendiri. Namanya? Aku tidak tau. Aku hanya melihat suku kata terakhir dari bet nama seragam sekolahnya yang tertutup jaket. Hanya kata 
“co” yang terbaca, entah namanya Marco, Aco, atau benar Coco, aku tidak tau.”
Mahasiswa semester akhir jurusan psikologi ini mulai menarik kursinya mendekati meja kerjaku, Sepertinya dia mulai tertarik dengan kisahku.

“Menungguku bercerita?” Lily memasang senyum termanisnya, menandakan iya.

“Haha, kapan-kapan ya. Kalau kamu udah ketemu klien yang mau bunuh diri aku cerita” Lily kecewa

“Memang apa yang dia katakan kepada ibu sampai ibu tersenyum mengingatnya?”

“Yang dia katakan? Yang kamu baca setiap kali membuka pintu ruangan ini, yang kamu baca setiap kali kamu diam-diam membuka lemari es di dapur kantor, yang kamu baca di halaman depan setiap kali aku meminjamkan buku jurnalku, dan yang selalu aku katakana setiap kali kamu mendapat klien yang menguras emosi”

Tersenyumlah, semua akan baik-baik saja



1 comment: