Thursday, June 13, 2019

Aku (Tak) Ingin Menikah

Image result for siluet berpisah
https://prelo.co.id/blog/menyikapi-perpisahan-dengan-bijak/

Seperti kau yang tidak pernah menganggap ulang tahun adalah hal penting, aku juga tidak menganggap penting sebuah pernikahan.

 ###

Beberapa orang mungkin telah membayangkan kehidupan pernikahan mereka bahkan sebelum mereka belum memiliki pasangan. Itu yang ku alami juga, dulu.

Aku anak tunggal, ayah kerja di luar kota, pulang dua minggu sekali. Mama bekerja. Walaupun begitu, aku bukan anak yang kekurangan kasih sayang orang tua. Aku sering menghabiskan waktu bersama mereka di sela-sela waktu mereka. Aku bahagia. Cukup itu.

Namun semakin kesini semakin aku mengerti apa yang kurang dari keluarga yang aku anggap “baik-baik saja”. Orangtua ku jarang mengekspresikan bentuk cinta dan sayang mereka dalam bentuk yang manis-manis. Seperti pelukan, ucapan sayang, dan cium. Mereka jarang melakukan itu. Aku sungguh tidak masalah, namun ternyata itu berpengaruh padauk ketika aku mulai mengenal apa itu jatuh cinta dengan lawan jenis.

Aku belum pernah memiliki pacar atau menjalin hubungan intens dengan seorang pria, satu-satunya cowok yang mulai kusuka adalah kakak tingkat dan membuatku mengubah keputusan untuk menjalin komitmen selamanya,

Aku mulai menyukainya sejak masuk sekolah menengah pertama. Dia anak OSIS yang menjadi panitia ospek. Dia ketua panitia. Mataku langsung tertuju kepadanya saat dia memberikan intruksi kepada siswa baru. Akuyakin, banyak siswa baru yang tertarik juga dengannya. Dan aku sadar aku bukan siapa-siapa, hanya siswa baru dengan penampilan dekil, tidak mengambil bagian penting dalam kelompok, dan tidak menarik. Tak ada kesempatan bagiku untuk diliriknya sebentar saja.

Tiga tahun aku menahan rasa kepadanya, lulus SMP aku biarkan perasaan ini tetap terbenam dihati. SMA pun aku tak tertarik dengan pria lain, hatiku masih bertahan padanya dan menunggunya. Siapa sangka, masuk kuliah, kami satu kampus, satu jurusan!

Semua dimulai dari sini, kenangan menjadi mahasiswa baru dan panitia ospek terulang lagi. Dia ketua panitia, lagi. Pun dengan aku, mahasiswi yang tidak menonjol dan tidak menarik, walaupun sudah tidak dekil. Tapi kali ini berbeda, entah mengapa dia menjadi sangat ramah kepada semua mahasiswa baru, termasuk aku. Dia menyapaku ramah, seperti panitia yang lain. Betapa senangnya hatiku walaupun sapanya bukan untukku saja. Tapi itu cukup untuk membalas penantianku 6tahun lamanya memendam rasa untuknya. Di akhir masa ospek entah bagaimana bisa, kami mulai dekat, terlibat beberapa perbincangan. Aku yang dulu pendiam sudah mulai terbiasa untuk terbuka dan berbicara banyak dengan orang-orang baru. Mungkin itu satu factor yang membuat kita dekat.

Aku bercerita kepadanya bahwa dulu kita satu sekolah saat SMP. Bagaimana dulu dia terlihat sangat cool dan aku mengaguminya. Dan aku biasa saja ketika membeberkan semuanya, aku tumuh menjadi pribadi yang sangat terbuka, mudah bergaul, dan periang. Tapi tiba-tiba aku mendadak gagap ketika dia mulai bertanya,

“sekarang gimana?”

Aku mendadak menjadi patung, tidak mungkin jika aku mengaku perasaanku padanya masih sama seperti enam tahun yang lalu, tidak mungkin aku bercerita jika tidak ada laki-laki lain yang ada dipikiranku selain dia selama itu. Aku bodoh dalam hal begini.

“ya … nggak gimana-gimana” aku hanya menjawab seperti itu dengan nyengir kuda. Sejak saat itu kami mulai dekat, sering berkirim pesan, sering pergi berdua, tapi tanpa suatu ikatan diantara kita. Aku pun yakin lebih baik hubungan seperti ini daripada terlalu jauh, aku tidak tertarik untuk menjadi pacarnya walau aku sangat tertarik padanya.

Berjalan dua tahun pertemanan kami. Aku sudah melabuhkan hatiku padanya. Sampai akhirnya kabar itu tiba.

“Nay, kemarin mas Dewa nonton sama kamu?”
“nonton?”
“iya, kemarin mas Dewa posting story tiket nonton berdua”
“ow, bukan sama aku kok”

Jantugku langsung berdetak kencang, dadaku sesak. Aku buru-buru melihat storynya, sial, ada emoticon love. Di malam ulangtahunku dia pergi bersama orang lain? bahkan dia belum mengucapkan selamat kepadaku.

Aku berlari ke kamar mandi, menahan air mata yang terbendung lagi. Keluar dari kamar mandi jelas semua, siapa yang pergi Bersama mas Dewa semalam. Aku melihatnya dengan seorang wanita sedang bercanda ditangga, berpegangan tangan. Mas Dewa melihat kearahku, raut mukanya berubah, dia menyapaku dengan gagap, tapi genggamannya tak dilepas.

Aku melangkah meninggalkannya, hanya tersenyum, inginku kembali ke kamar mandi, tapi kakiku terlanjur maju berlawanan arah. Sial.

Sejak saat itu keputusanku untuk tidak memiliki ikatan adalah benar, untuk apa menikah? Bukan aku tidak tertarik dengan lawan jenis setelah ini, hanya menjadi sendiri sudah cukup bagiku. Toh mama juga bisa bertahan walau ayah bekerja. Mama bisa merawaku sendiri. Lagipula untuk apa sebuah ikatan jika tidak menjamin kita akan  bertahan selamanya dengannya?

Seperti kau yang tidak pernah menganggap ulang tahun adalah hal penting, aku juga tidak menganggap penting sebuah pernikahan.

1 comment: