Seperti kau yang tidak pernah
menganggap ulang tahun adalah hal penting, aku juga tidak menganggap penting
sebuah pernikahan.
###
Beberapa orang mungkin telah
membayangkan kehidupan pernikahan mereka bahkan sebelum mereka belum memiliki
pasangan. Itu yang ku alami juga, dulu.
Aku anak tunggal, ayah kerja di
luar kota, pulang dua minggu sekali. Mama bekerja. Walaupun begitu, aku bukan
anak yang kekurangan kasih sayang orang tua. Aku sering menghabiskan waktu bersama
mereka di sela-sela waktu mereka. Aku bahagia. Cukup itu.
Namun semakin kesini semakin aku
mengerti apa yang kurang dari keluarga yang aku anggap “baik-baik saja”. Orangtua
ku jarang mengekspresikan bentuk cinta dan sayang mereka dalam bentuk yang
manis-manis. Seperti pelukan, ucapan sayang, dan cium. Mereka jarang melakukan
itu. Aku sungguh tidak masalah, namun ternyata itu berpengaruh padauk ketika
aku mulai mengenal apa itu jatuh cinta dengan lawan jenis.
Aku belum pernah memiliki pacar atau
menjalin hubungan intens dengan seorang pria, satu-satunya cowok yang mulai kusuka
adalah kakak tingkat dan membuatku mengubah keputusan untuk menjalin komitmen
selamanya,
Aku mulai menyukainya sejak masuk
sekolah menengah pertama. Dia anak OSIS yang menjadi panitia ospek. Dia ketua
panitia. Mataku langsung tertuju kepadanya saat dia memberikan intruksi kepada siswa
baru. Akuyakin, banyak siswa baru yang tertarik juga dengannya. Dan aku sadar
aku bukan siapa-siapa, hanya siswa baru dengan penampilan dekil, tidak
mengambil bagian penting dalam kelompok, dan tidak menarik. Tak ada kesempatan
bagiku untuk diliriknya sebentar saja.
Tiga tahun aku menahan rasa
kepadanya, lulus SMP aku biarkan perasaan ini tetap terbenam dihati. SMA pun
aku tak tertarik dengan pria lain, hatiku masih bertahan padanya dan
menunggunya. Siapa sangka, masuk kuliah, kami satu kampus, satu jurusan!
Semua dimulai dari sini, kenangan
menjadi mahasiswa baru dan panitia ospek terulang lagi. Dia ketua panitia,
lagi. Pun dengan aku, mahasiswi yang tidak menonjol dan tidak menarik, walaupun
sudah tidak dekil. Tapi kali ini berbeda, entah mengapa dia menjadi sangat
ramah kepada semua mahasiswa baru, termasuk aku. Dia menyapaku ramah, seperti
panitia yang lain. Betapa senangnya hatiku walaupun sapanya bukan untukku saja.
Tapi itu cukup untuk membalas penantianku 6tahun lamanya memendam rasa
untuknya. Di akhir masa ospek entah bagaimana bisa, kami mulai dekat, terlibat
beberapa perbincangan. Aku yang dulu pendiam sudah mulai terbiasa untuk terbuka
dan berbicara banyak dengan orang-orang baru. Mungkin itu satu factor yang
membuat kita dekat.
Aku bercerita kepadanya bahwa
dulu kita satu sekolah saat SMP. Bagaimana dulu dia terlihat sangat cool
dan aku mengaguminya. Dan aku biasa saja ketika membeberkan semuanya, aku tumuh
menjadi pribadi yang sangat terbuka, mudah bergaul, dan periang. Tapi tiba-tiba
aku mendadak gagap ketika dia mulai bertanya,
“sekarang gimana?”
Aku mendadak menjadi patung,
tidak mungkin jika aku mengaku perasaanku padanya masih sama seperti enam tahun
yang lalu, tidak mungkin aku bercerita jika tidak ada laki-laki lain yang ada
dipikiranku selain dia selama itu. Aku bodoh dalam hal begini.
“ya … nggak gimana-gimana” aku
hanya menjawab seperti itu dengan nyengir kuda. Sejak saat itu kami mulai
dekat, sering berkirim pesan, sering pergi berdua, tapi tanpa suatu ikatan
diantara kita. Aku pun yakin lebih baik hubungan seperti ini daripada terlalu
jauh, aku tidak tertarik untuk menjadi pacarnya walau aku sangat tertarik
padanya.
Berjalan dua tahun pertemanan
kami. Aku sudah melabuhkan hatiku padanya. Sampai akhirnya kabar itu tiba.
“Nay, kemarin mas Dewa nonton
sama kamu?”
“nonton?”
“iya, kemarin mas Dewa posting story
tiket nonton berdua”
“ow, bukan sama aku kok”
Jantugku langsung berdetak
kencang, dadaku sesak. Aku buru-buru melihat storynya, sial, ada emoticon love.
Di malam ulangtahunku dia pergi bersama orang lain? bahkan dia belum mengucapkan selamat kepadaku.
Aku berlari ke kamar mandi,
menahan air mata yang terbendung lagi. Keluar dari kamar mandi jelas semua,
siapa yang pergi Bersama mas Dewa semalam. Aku melihatnya dengan seorang wanita
sedang bercanda ditangga, berpegangan tangan. Mas Dewa melihat kearahku, raut mukanya
berubah, dia menyapaku dengan gagap, tapi genggamannya tak dilepas.
Aku melangkah meninggalkannya,
hanya tersenyum, inginku kembali ke kamar mandi, tapi kakiku terlanjur maju
berlawanan arah. Sial.
Sejak saat itu keputusanku untuk
tidak memiliki ikatan adalah benar, untuk apa menikah? Bukan aku tidak tertarik
dengan lawan jenis setelah ini, hanya menjadi sendiri sudah cukup bagiku. Toh mama
juga bisa bertahan walau ayah bekerja. Mama bisa merawaku sendiri. Lagipula untuk
apa sebuah ikatan jika tidak menjamin kita akan
bertahan selamanya dengannya?
Seperti kau yang tidak pernah
menganggap ulang tahun adalah hal penting, aku juga tidak menganggap penting
sebuah pernikahan.