https://www.fimela.com/lifestyle-relationship/read/3728437/bagaimana-menjadi-pendengar-yang-baik-dalam-hubungan-cinta |
Suatu hari dalam perjalanan dari Klaten menuju Jogjakarta
saya menabrak motor di depan saya. Sebenarnya bukan menabrak secara harfiah,
namun stang motor saya menyenggol stang milik pengendara tersebut. Ternyata pengendara
itu adalah seorang ibu dan anaknya. Motor si ibu tersebut jatuh, otomatis sama
meminggirkan motor dan menolongnya. Kami menepi dan memeriksa apakah ada yang
terluka dengan si ibu dan anaknya. Alhamdulillah, si ibu baik-baik saja dan
kondisi si anak juga tidak terlalu parah. Singkat cerita si ibu mengajak kami
kerumahnya, untuk diselesaikan dengan damai oleh suaminya. Diperjalanan menuju
rumahnya tak henti-henti si ibu yang sambil menggendong anaknya ini mengatakan
untuk berkata bahwa tadi mereka tidak lewat jalur pulang yang biasanya karena
mau membeli ayam, dan berkata kepada si anak untuk berkata seperti itu jika
ditanya oleh ayahnya. Si ibu juga menjelaskan agar tidak menceritakan hal yang
sebenarnya kepada sang ayah karena takut nanti dimari oleh ayahnya.
Saya tidak mengerti kenapa si ibu harus berbohong. Maksud saya,
jika kronologinya seperti ini kan ibarat saya yang salah. Sesampainya dikomplek
perumahan pun ibu itu tidak langsung ke rumahnya, namun ke rumah seseorang yang
dipanggil “om” untuk menemaninya menemui suaminya. Ada apalagi ini?
Dari beberapa petanda ini saya sudah takut ketika akan
menghadapi suaminya, bagaimana jika nanti saya dimarah-marahi, atau
dibentak-bentak. Ketika sang suami keluar, ternyata tidak sesuai pemikiran
saya. Si suami dapat diajak berbicara dengan baik-baik.
Ketika sang suami ini masuk rumah untuk berganti pakaian
karena kita akan memeriksa motor yang rusak ke bengkel, kembali lagi, si ibu
menceritakan kepada sang “om” kronologi tabrakan yang terjadi. Dalam pikiran
saya si ibu terkesan melebih-lebihkan dan lebay. “Lha, mbak e ndekmau
buanterrrrr banget ko mburi (mbak nya tadi kencengggg banget dari belakang)” si
anak saja sempat mengklarifikasi omongan si ibu yang tidak sesuai dengan
keadaan aslinya. Untungnya si “om” cukup bijak dalam mendengar ceritanya.
###
Saya tidak tahu mengapa si ibu bersikap demikian. Yang
menyedihkan adalah ketika si ibu tersebut harus berbohong agar tidak dimarahi
oleh suaminya. Sebegitu kejamnyakah sebuah kejujuran?
Kebohongan sendiri saja bukan hal yang baik. Bagaimana
dengan dampak yang ditimbulkan dari kebohongan itu sendiri? Bagaimana nanti
anak yang sedari kecil sudah diajari untuk berbohong. Walau sepenuhnya alasan
berbohong bukan karena keinginannya sendiri.
Bagaimana tekanan yang harus dialami si istri ini setiap
kali dia harus berbohong. Saya kira teman-teman juga setuju jika setiap kali
kita berbohong akan timbul perasaan tidak enak didalam dada. Bagaimana dengan
seseorang yang sudah terbiasa berbohong? Apakah dia sudah kebal akan perasaan
bersalah atau malah dia menumpuk perasaan-perasaan itu di alam bawah sadarnya?
Menjadi seorang pendengar yang baik memang tidak gampang,
apalagi ketika sepanjang hidup kita harus menjadi pendengar yang baik untuk
pasangan. Namun bukankah itu manfaat adanya pasangan? Lalu kepada siapa lagi
kita bisa berkata apa adanya jika kepada suami saja kita terlalu takut untuk
berkata jujur? Sementara saja wanita bisa berbicara sekitar 20.000 kata per hari. Sebagai seorang manusia sudah sewajarnya kita memiliki teman untuk saling berbagai tanpa saling menghakimi.
No comments:
Post a Comment