Wednesday, March 28, 2018

Menikah (Tidak) Denganmu



Gambar terkait
http://www.makarska-post.com/index.php/zasto-se-suti-o-obiteljskom-nasilju-nad-muskarcima/
Aku mimpi buruk semalam. Bukan menakutkan dalam artian horor, setan atau yang lainnya. Dalam mimpiku semalam aku dinikahkan oleh seseorang yang baru kukenal, dijodohkan. Aku tak mengerti bagaimana pada akhirnya bisa menyetujui pernikahan itu dan menikah dengannya.


Acara akad nikah  telah terlaksana, semua masalah dimulai setelah ini.


Suamiku adalah seorang pengusaha kaya dan baik hati, begitupun keluarganya. Sayangnya, aku belum pernah berbicara dalam dengannya. Segala urusan pernikahan diurus oleh keluarga suami.



Beberapa hari setelah ijab selesai aku bersama ibu tinggal di rumah suami menyiapkan acara resepsi beberapa hari lagi, masih banyak saudara disana. Hingga suatu hari, entah bagaimana awalnya aku merasa ada yang salah dengan pernikahan ini, tidak dengan pernikahannya secara literal, tapi dengan hatiku yang tidak mengikhlaskan adanya pernikahan ini.


Hariku berjalan sangat lambat. Aku harus memasang wajah ceria di depan semua saudara yang ada, termasuk di depan ibuku dan ayahmu. Hingga akhirnya sore tiba, kau sampai dirumah, pulang dari kantor. Kau tetap menginginkan pergi ke kantor walau bisa saja kau berdiam di rumah, menikmati persiapan resepsi kita. Aku tidak menyambutmu atau mendekatimu, yang kutahu kau sudah pulang kerja dan bergabung dengan kami. Saat itu, hatiku langsung memberontak, tapi aku tak berani mengatakan yang sesungguhnya. Aku mendekatimu saja tak berani, padahal kita sepasang suami istri, kan?


Beberapa menit berlalu dengan ponakan-ponakan kecilmu, hingga akhirnya mereka mulai bosan dan memilih bermain diluar. Kini tinggal aku dank au di ruang keluarga ini, sungguh, dalam hati aku menangis, aku bingung harus bagaimana, aku tak ingin melukai siapapun, tapi aku sendiri terluka.


Aku tidak mengerti bagaimana aku bisa dijodohkan denganmu, aku tidak mengenalmu sebelumnya. Aku masih kuliah dan aku harus menikah. Aku sempat berpikir bahwa aku menikah denganmu karena kau kaya. Tapi jahat sekali jika aku berpikir seperti itu pada ibuku sendiri.


Kau orang baik, begitupun dengan keluargamu. Ayahmu memperlakukanku dengan manis. Kau begitu menerima pernikahan ini, tapi mengapa sampai saat ini kau belum mengajakku berbicara lebih dalam? Atau sebenarnya kau juga tidak menerima pernikahan ini? Tolong, jangan buat aku bingung dengan hanya diam.


Menjelang mahgrib, Kiki datang. Disaat aku ingin berbicara denganmu hal yang sesungguhnya. Aki pikir ini ide yang bagus dengan adanya perantara diantara kita yang tak akan membuatku canggung.


Aku tak sanggup lagi menahan semua ini, Kiki mulai pembicaraan diantara kita bertiga dengan menceritakan teman-teman yang menanyakan apakah kabar menikahku denganmu benar adanya. Kiki tidak menjawab isu itu dengan tegas, karna dia tahu aku masih ingin menyembunyikan hal ini.



Hingga kemudian hening sesaat, kau tak ingin berbicara apapun. Baiklah ini saatnya. Aku menahan air mata yang mulai menumpuk di pelupuk mata, aku masih ingin menjaga perasaan suamiku, tapi aku tak sanggup. Berkali-kali aku berpikir apakah benar apa yang akan aku katakan ini? Sementara aku telah menikah dengan orang yang sangat baik di depanku. Yang aku tidak tahu, apakah dia mencintaiku dalam pernikahan ini. Tapi mengapa dia tidak menolaknya jika sampai saat ini dia belum pernah mengajakku berbicara?



Aku mulai berbicara, aku mengatakan bahwa aku masih bingung dengan pernikahan ini, masih tak terbayangkan bagaimana semua ini bisa terjadi di dalam hidupku, sejuta penjelasan yang kubuat sendiri tak mampu menyadarkan logika dan tak mampu menenangkan jiwa. Hingga akhrinya, di depan Kiki dan di depan suamiku aku berkata,



“aku masih sangat mencintai mas Rangga, Ki. Aku belum mengabarinya tentang pernikahanku ini.”



Setelah kalimat itu selesai air mataku benar tumpah, namun masih sama seperti sebelumnya, suami yang berada disampingku masih saja diam dan tak ingin menenangkanku. Diapun tidak marah aku menceritakan orang lain di depannya. Dia tidak bereaksi, tepatnya.



Aku tak tahu, di tengah pernikahanku ini bagaimana bisa aku masih memikirkan lelaki lain yang sampai saat inipun belum jelas apakah dia mencintaiku juga atau tidak. Yang aku tahu aku masih sangat mencintainya dan aku belum mengungkapkan perasaan ini kepadanya. Apakah aku sudah terlambat? Bahkan jika aku harus menikah dengan orang lain, dalam prinsipku, aku harus mengabarkan berita ini terlebih dahulu kepada mas Rangga sekaligus mengungkapkan semuanya. Tapi kenapa kali ini aku melanggar prinsip yang telah kuyakini lebih dari 5 tahun lamanya sejak mas Rangga lebih memilih mengambil jarak secara halus dariku? Mengapa?



Setelah semua pertanyaan dan tangis itu aku terbangun. Tentunya dengan perasaan sesak di dada. Aku tak ingin menangis hanya karena mimpi itu, tapi memang semuanya menjadikanku takut.

Aku yang lebih rela kau tinggalkan daripada harus menyakiti perasaanmu.

Setelah beberapa menit merenungi mimpi tak bertanggungjawab tersebut, muncul pertanyaan dari logika,


“Apa aku seperti itu jika mengingat dirimu? Menjadi anak kecil yang cengeng?”

Atau memang lebih baik aku menikah dengan yang lain saja? Ahh, tidak, tidak.  

No comments:

Post a Comment