Sunday, November 12, 2017

Dia (Bukan) Temanku

Gambar terkait
https://www.linkedin.com/pulse/never-pretend-someone-you-assia-ouchchen

Entah bagaimana bisa dia menyebut nama wanita lain saat kami sedang bersama. Bukan pertama kalinya, ini kesekian kali dengan kesekian nama perempuan yang dia sebut. Aku tidak pernah merasa sedih atau marah, aku hanya bingung mengapa dia senang menceritakan kisahnya dengan wanita lain di depanku. Berbeda dengan yang sebelumnya, nama yang dia sebut kali ini cukup membuatku terkejut.


Lala, wanita yang dia sebut, adalah teman satu komunitasku. Kami berteman baik. Dia paham betul aku sering bertemu Lala. Malam itu dia bercerita banyak tentang Lala, dan untuk pertama kalinya aku cemburu.

###

Aku tidak pernah merasa benar-benar memiliki seorang teman. Yaa, jika kau mengatakan sekelompok orang yang sering berjalan denganku, pergi mencari makan setalah selesai kuliah, menghabiskan malam dengan mengobrol di sebuah café, tentu ada. Namun aku tak pernah merasa memiliki mereka, atau paling tidak saling tergantung.


Bahkan ketika aku mengikuti lima dari sepuluh komunitas yang ada dikampus pun, aku masih merasa tidak memiliki orang yang benar-benar bisa kupercaya. Paling tidak untuk berkeluh-kesah.


Dan seseorang datang, dimana dia yang selalu bisa kuajak bertemu saat aku memang butuh, membicarakan hal yang tidak penting, menghabiskan malam diantara secangkir teh hangat, dan yang lebih penting, aku bisa menceritakan segala hal kepadanya.



Aku ingat betul malam itu, dimana dia menyebutkan sebuah nama yang membuatku gusar. Aku tidak peduli bahkan ketika wanita yang dia sebut itu tidak menghiraukannya. Wanita itu ternyata tidak menyukainya, aku tidak peduli, yang pasti dia telah merebut perhatian seorang teman dariku.

###

Dan pagi yang cerah mempertemukanku dengan wanita itu. Disebuah latihan menuju perlombaan tingkat provinsi. Kami berdua adalah atlet panjat. Dia sedang berada di tiga point terakhir menuju puncak. Dia menyapaku saat aku baru saja datang tadi, aku membalasnya ramah, oke pura-pura ramah. Aku muak melihatnya.


Kemudian aku beralih dimana teman-teman yang lain sedang memasang flying fox mini diantara pohon-pohon kampus yang menghubungkas sisi kanan lapangan dengan seberangnya. Aku yang tertarik pada bidang Single Rope Technik mencoba membantu. Aku memakai webbing manual dan mencoba permainan ini. Kau bisa bayangkan saat meluncur turun dan melewati setiap jengkal tali membuatmu melupakan masalah yang ada walau sejenak. Dan aku berhasil melakukannya.


Satu jam kemudian aku sudah melewati setengah dari lintasan munuju puncak dinding panjat ini. Ketika suara jeritan dan dentuman menghentikan langkahku.


Bukkkkk

Semua orang yang berada dibawahku berlari menuju lapangan yang berjarak 50 meter. Aku memutuskan untuk menyudahi latihan ini dan turun. Dengan segera aku melepas carabiner dan ikut mengerumun di lapangan. Saat aku mendekat, dua orang sedang melepas webbing dan carabiner dari tubuh seseorang, satu orang lagi menopangnya - karena badannya tidak sampai menyentuh tanah, orang itu menangis sambil menjerit kesakitan. Aku merinding mendengar jeritannya.


Dari yang kudengar, orang ini menaiki flying fox dengan perlengkapan aman, namun saat meluncur, auto stop tidak berjalan dengan normal, sehingga dia melaju terus menuju pohon yang berada 5 meter dihadapannya, kakinya mencoba menendang pohon itu agar tidak menabrak terlalu keras, dan secara cepat, lengan kanannya bekerja sebagai tameng saat menabrak pohon itu. mengelus lenganku sendiri secara tidak sadar.


Aku baru tahu ternyata separah ini dampak dari mengendorkan auto stop yang kulakukan tadi. Bisa dipastikan lengan kanan orang itu retak, dan dia tidak bisa mengikuti pertandingan panjat. aku tersenyum untuk skenario yang berjalan rapi. Aku berhasil membuatnya mengalah untuk satu hal. Lala teman yang baik, tapi dia telah merebut perhatian satu-satunya orang yang kuanggap teman. Apa begitu ciri seorang teman yang baik?


1 comment: