https://www.linkedin.com/pulse/never-pretend-someone-you-assia-ouchchen |
Entah
bagaimana bisa dia menyebut nama wanita lain saat kami sedang bersama. Bukan
pertama kalinya, ini kesekian kali dengan kesekian nama perempuan yang dia
sebut. Aku tidak pernah merasa sedih atau marah, aku hanya bingung mengapa dia
senang menceritakan kisahnya dengan wanita lain di depanku. Berbeda dengan yang
sebelumnya, nama yang dia sebut kali ini cukup membuatku terkejut.
Lala, wanita yang dia sebut,
adalah teman satu komunitasku. Kami berteman baik. Dia paham betul aku sering
bertemu Lala. Malam itu dia bercerita banyak tentang Lala, dan untuk pertama
kalinya aku cemburu.
###
Aku tidak
pernah merasa benar-benar memiliki seorang teman. Yaa, jika kau mengatakan
sekelompok orang yang sering berjalan denganku, pergi mencari makan setalah
selesai kuliah, menghabiskan malam dengan mengobrol di sebuah café, tentu ada. Namun
aku tak pernah merasa memiliki mereka, atau paling tidak saling tergantung.
Bahkan ketika
aku mengikuti lima dari sepuluh komunitas yang ada dikampus pun, aku masih
merasa tidak memiliki orang yang benar-benar bisa kupercaya. Paling tidak untuk
berkeluh-kesah.
Dan seseorang
datang, dimana dia yang selalu bisa kuajak bertemu saat aku memang butuh,
membicarakan hal yang tidak penting, menghabiskan malam diantara secangkir teh hangat,
dan yang lebih penting, aku bisa menceritakan segala hal kepadanya.
Aku ingat
betul malam itu, dimana dia menyebutkan sebuah nama yang membuatku gusar. Aku tidak
peduli bahkan ketika wanita yang dia sebut itu tidak menghiraukannya. Wanita
itu ternyata tidak menyukainya, aku tidak peduli, yang pasti dia telah merebut
perhatian seorang teman dariku.
###
Dan pagi yang
cerah mempertemukanku dengan wanita itu. Disebuah latihan menuju perlombaan
tingkat provinsi. Kami berdua adalah atlet panjat. Dia sedang berada di tiga
point terakhir menuju puncak. Dia menyapaku saat aku baru saja datang tadi, aku
membalasnya ramah, oke pura-pura ramah. Aku muak melihatnya.
Kemudian aku
beralih dimana teman-teman yang lain sedang memasang flying fox mini diantara
pohon-pohon kampus yang menghubungkas sisi kanan lapangan dengan seberangnya. Aku
yang tertarik pada bidang Single Rope Technik mencoba membantu. Aku memakai
webbing manual dan mencoba permainan ini. Kau bisa bayangkan saat meluncur
turun dan melewati setiap jengkal tali membuatmu melupakan masalah yang ada
walau sejenak. Dan aku berhasil melakukannya.
Satu jam
kemudian aku sudah melewati setengah dari lintasan munuju puncak dinding panjat
ini. Ketika suara jeritan dan dentuman menghentikan langkahku.
Bukkkkk
Semua orang
yang berada dibawahku berlari menuju lapangan yang berjarak 50 meter. Aku memutuskan
untuk menyudahi latihan ini dan turun. Dengan segera aku melepas carabiner dan ikut mengerumun di
lapangan. Saat aku mendekat, dua orang sedang melepas webbing dan carabiner
dari tubuh seseorang, satu orang lagi menopangnya - karena badannya tidak
sampai menyentuh tanah, orang itu menangis sambil menjerit kesakitan. Aku merinding
mendengar jeritannya.
Dari yang
kudengar, orang ini menaiki flying fox dengan perlengkapan aman, namun saat
meluncur, auto stop tidak berjalan dengan normal, sehingga dia melaju terus
menuju pohon yang berada 5 meter dihadapannya, kakinya mencoba menendang pohon
itu agar tidak menabrak terlalu keras, dan secara cepat, lengan kanannya
bekerja sebagai tameng saat menabrak pohon itu. mengelus lenganku sendiri secara tidak sadar.
Aku baru tahu ternyata
separah ini dampak dari mengendorkan auto
stop yang kulakukan tadi. Bisa dipastikan lengan kanan orang itu retak, dan
dia tidak bisa mengikuti pertandingan panjat. aku tersenyum untuk skenario yang berjalan rapi. Aku berhasil
membuatnya mengalah untuk satu hal. Lala teman yang baik, tapi dia telah merebut
perhatian satu-satunya orang yang kuanggap teman. Apa begitu ciri seorang teman
yang baik?
woahh mengerikan..
ReplyDelete